Sejarah Terbentuknya Situ Lengkong Panjalu Ciamis Konon Berasal dari Air Zam Zam

- 16 November 2023, 01:55 WIB
Gambar pemandangan Situ Lengkong Panjalu Kabupaten Ciamis.
Gambar pemandangan Situ Lengkong Panjalu Kabupaten Ciamis. /Kayan Manggala/

PR CIAMIS - Bagi yang belum mengetahui, babad sejarah Situ (danau) Lengkong Panjalu, Kabupaten Ciamis, PR Ciamis akan mengkupas Sejarahnya mulai dari sisi Kerajaan, Adat Budaya, dan terbentuknya situ (danau) yang menurut cerita atau legenda ada unsur campur tangan supranatural.

Berdasarkan cerita turun-temurun masyarakat sekitar, terbentuknya situ atau danau Panjalu bukan murni pengaruh alam semata. Namun, konon ada campur tangan kekuatan supranatural Prabu Borosngora, salah satu raja Galuh Panjalu yang telah masuk islam.

Prabu Borosngora atau Sanghyang Borosngora adalah Raja Panjalu (sekarang termasuk wilayah Kabupaten Ciamis Jawa barat) yang terkemuka. Di dalam Babad Panjalu diterangkan bahwa sang prabu kemudian memeluk Islam setelah menuntut ilmu di Mekkah kepada Sayidina Ali Bin Abi Thalib RA. 

Baca Juga: Bertemu Presiden AS Joe Biden, Presiden Jokowi Ajak Hentikan Konflik Israel dan Palestina di Gaza

Sebagai cinderamata kepada seorang pangeran dari Panjalu, Sayidina Ali memberikan sebilah pedang, pakaian kebesaran dan air zamzam kepada Sanghyang Borosngora. Pedang pusaka dari Sayidina Ali ini sampai sekarang masih terpelihara, disimpan di Pasucian Bumi Alit dan disucikan atau dijamas pada setiap bulan Mulud (Rabiul Awal) dalam serangkaian upacara adat Nyangku.

Sedangkan air zamzam dari Mekkah dijadikan air bibit untuk membuat Situ (danau) Lengkong di Panjalu. Saat ditumpahkan ke dalam danau Panjalu, ada beberapa tetes air yang berserakan hingga akhirnya berubah menjadi nusa atau pulau kecil di tengah danau.

Walhasil, ada satu nusa yang terbentuk yang diberi nama Nusa Larang, dan akhirnya dibangun sebuah keraton besar yang di dalamnya terdapat lokasi Kepatihan dan Paseban Keraton.

Kemudian Sanghyang Borosngora naik tahta sebagai Raja Panjalu menggantikan kakaknya Prabu Lembu Sampulur II, lalu membangun kaprabon di Nusa Larang, sebuah pulau di tengah-tengah Situ Lengkong.

Prabu Borosngora menurunkan dua orang putera yaitu Rahyang Kuning (Hariang Kuning) dan Rahyang Kancana (Hariang Kancana), di hari tuanya sang prabu lengser kaprabon dan menjadi mubaligh, menyiarkan agama Islam di Jampang (Sukabumi).

Baca Juga: Nomor Berapa Pilihanmu? KPU Tetapkan Nomor Urut Pasangan Capres dan Cawapres Pemilu 2024

Sumber Babad Panjalu tidak menerangkan dimana Prabu Borosngora dimakamkan setelah wafatnya. Tahta Panjalu kemudian dipegang oleh anak tertuanya Rahyang Kuning, Rahyang Kuning kemudian digantikan oleh adiknya Rahyang Kancana. Rahyang Kancana mangkat dan dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong, sampai sekarang makam Prabu Rahyang Kancana selalu ramai dikunjungi para peziarah Islam dari seluruh Indonesia, termasuk almarhum Gus Dur.

Area makam ziarah tempat Prabu Hariang Kencana atau Borosngora atau Sayid Ali Bin Muhammad bin Umar, seorang ulama penyebar agama Islam di wilayah itu bersemayam, memang berada di kawasan hutan lebat seluas 57 hektare.

Pengunjung yang akan tirakat, bersemedi atau sekadar refreshing menikmati suasana tengah hutan yang teduh dan asri, wajib melewati situ (danau) Lengkong seluas hampir 40 hektar tersebut.

Dan ada mitos tentang dua buah patung harimau hitam dan putih menjadi penunggu abadi di pintu masuk area tempat ziarah Situ Lengkong, Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

Konon dua patung hewan buas itu, jelmaan dua anak raja Brawijaya, kerajaan Majapahit, yang tersesat di sana, namun melanggar aturan. Akhirnya berubah wujud menjadi raja hutan penunggu  hutan Panjalu Ciamis, hingga kini.

Baca Juga: Bupati Garut Melantik 9 Pegawai PNS Jabatan Administrasi dalam Upacara Khusus

Ada salah satu kebudayaan masyarakat Panjalu, Ciamis, Jawa Barat yang masih lestari hingga kini adalah upacara adat sakral Nyangku, sebuah ritual upacara adat pemandian benda pusaka yang dilaksanakan pada setiap bulan Rabiul Awal atau maulud setiap tahunnya.

Istilah Nyangku diduga berasal dari bahasa Arab 'yanko' yang berarti membersihkan, hingga akhirnya berubah dalam dialek lidah orang sunda menjadi nyangku. Makna dilaksanakannya upacara adat ini, menghormati peninggalan pusaka leluhur, atas jasanya menyebarkan agama Islam di wilayah itu.

Untuk mempersiapkan perlengkapan upacara, konon zaman dahulu, semua keluarga keturunan Panjalu akan menyediakan beras merah yang harus dikupas dengan tangan, bukan ditumbuk sebagaimana biasa. Selanjutnya beras ini digunakan sebagai bahan untuk membuat tumpeng dan sasajen.

Ritual Nyangku diawali dengan berziarah ke makam raja di Situ Lengkong, Panjalu. Kemudian dilanjutkan dengan pencucian benda pusaka peninggalan raja. Kemudian seluruh benda pusaka yang didominasi perkakas dan senjata perang tempo dulu, dikeluarkan dan 'dimandikan' dari museum bumi alit dan situ Panjalu yang jaraknya berdekatan.

Belakangan air bekas pencucian kerap menjadi incaran peziarah atau pengunjung yang sengaja ingin mendapatkan keberkahan hidup. Mereka rela berdesakan hanya demi mendapatkan air sisa basuhan tersebut. Sebuah kegiatan yang mesti dibarengi keyakinan kepada Alloh, jika tidak ingin menjadi perbuatan sirik.

Selain menghormati leluhur, kegiatan dalam Nyangku dan ritual maulid nabi Muhammad SAW tersebut, juga bertujuan menyebarkan agama Islam, sekaligus sarana silaturahmi antar warga.***

Editor: Kayan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah