Kampung Adat Kuta; Dibalik Cerita Legenda Ciungwanara dan Berbagai Pantangannya

- 27 November 2023, 19:24 WIB
Suasana asri Kampung Adat Kuta
Suasana asri Kampung Adat Kuta /_iamiqbal

PR CIAMIS - Kampung Adat Kuta terletak di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, merupakan sebuah kampung yang berdiri sebagai bukti warisan adat dan tradisi kuno yang abadi. Nama Kuta diambil dari bahasa Sunda yang berarti tembok, atau tebing karena letaknya yang berada di lembah curam dan dikelilingi oleh perbukitan seperti tebing-tebing yang tinggi.

Dalam beberapa dongeng buhun yang ada di masyarakat Sunda, dahulu sekitar tahun 600-an, Kuta disebut dengan Nagara Burung atau daerah yang batal menjadi ibu kota Kerajaan Galuh, yang dinamai Kuta Pandak oleh Prabu Ajar Sukaresi atau Prabu Galuh.

Dalam Wawacan Sajarah Galuh yang ditulis oleh Edi S. Ekadjati, ternyata kisah Nagara Burung Kampung Kuta memiliki keterkaitan dengan legenda Ciungwanara. Dimana dikisahkan, Prabu Galuh mempunyai dua orang istri yaitu Dewi Naganingrum dan Dewi Pangrenyep. Pada saat Prabu Galuh pergi bertapa, Dewi Naganingrum sedang mengandung. Namun usai melahirkan, Dewi Pangrenyep menukar bayinya dengan seekor anak anjing dan kemudian dihanyutkan ke Sungai Citanduy.

Baca juga: Kearifan yang Hilang! Sebelum Agama Samawi, Leluhur Galuh Sudah Mengenal ayat Kauniyah

Adapun bayi yang dibuang ke Sungai Citanduy itu kemudian ditemukan oleh Aki Bagalantrang di depan badodon (tempat menangkap ikan)-nya. Kemudian bayi itu dipungut dan diasuh oleh Aki Bagalantrang hingga remaja, lalu diberi nama Ciung Wanara.         

‘Pamali’ di Kampung Kuta

Bagi masyarakat luar, perlu diketahui beberapa pantangan atau pamali yang diterapkan di Kampung Kuta ini terutama bagi yang hendak berkunjung.

Dusun menawan ini dihuni oleh masyarakat yang masih memegang kuat kearifan lokal dan memegang teguh prinsip silih asih, silih asah dan silih asuh yang berarti saling mengasihi, saling mengasuh dan saling mengingatkan. Disini juga menyimpan banyak hal unik, termasuk serangkaian larangan, atau pantangan yang disebut juga dengan ‘pamali’ untuk mengatur tatanan kehidupan sehari-hari penduduknya dan menjaga keseimbangan alam terutama kelestarian mata air dan pohon aren sebagai sumber kehidupan mereka.

Masyarakat kampung ini percaya, jika ada yang melanggar aturan larangan tersebut maka akan datang malapetaka menimpa dirinya seperti jatuh sakit bahkan meninggal.

Baca juga: Supriatna Gumilar Apresiasi Seni Budaya Kuta Pasagi Asal Purwadadi Ciamis, Begini Harapannya

Halaman:

Editor: Dewi Yosviani

Sumber: Dispar Ciamis


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah