KONSEP MENJADI MANUSIA SUPER VERSI NIETZSCHE

- 27 Juni 2022, 12:49 WIB
Konsep Manusia Super Versi Nietzsche
Konsep Manusia Super Versi Nietzsche /

SUDUT CIAMIS - Ketika membicarakan tentang konsep "manusia super", agaknya tidak banyak tokoh dalam filsafat Barat yang membicarakannya secara gamblang. Kebanyakan dari mereka menyisipkannya dalam suatu pemikiran tentang etika. Mengenai nilai-nilai yang seyogianya dipegang oleh manusia – yang jika nilai-nilai tersebut diwujudkan, maka menjadi satu versi tentang “manusia yang baik”.

Contoh tentang nilai-nilai tersebut ada banyak ragam. Misalnya, Aristippus menganggap bahwa kebaikan tertinggi dimulai dari pemenuhan atas kepuasan ragawi. Sementara Diogenes sebaliknya, kebaikan tertinggi adalah sikap sinis pada dunia dan penolakan terhadap berbagai kemelekatan. Sokrates mungkin agak mendekati, meski yang ia tekankan adalah etika keutamaan (virtue ethics) yang berangkat dari “pengetahuan dari dalam”. 

Namun seorang filsuf di era antara romantik dan modern ada yang dengan berani memikirkan tentang "manusia super" secara terang-terangan. Namanya Friedrich Nietzsche (1844 - 1900). Ia bicara tentang konsep übermensch atau adi manusia dalam satu bukunya yang terkenal berjudul Demikian Sabda Zarathustra.

Dalam bukunya tersebut, Nietzsche mengatakan bahwa manusia bagaikan ada pada tegangan, antara hewan dan adimanusia. Bergulir kita diantara keduanya, dan Nietzsche kemudian berseru: Aku ajarkan pada kalian tentang adimanusia. Manusia adalah sesuatu yang harus dilampaui. Apa yang sudah kalian lakukan untuk melampauinya? 

Baca juga: 7 Beasiswa Bulan Juni 2022, Cek Disini!

Nietzsche, dengan gaya sastranya yang meledak-ledak dan penuh rasa muak, menuliskan secara implisit tentang bagaimana menjadi manusia super atau adimanusia tersebut, di pernyataannya yang lain.

Pertama, tentang metamorfosa roh, yang ia ibaratkan terjadi dalam tiga tahap, yaitu menjadi unta, singa, dan anak. Unta dianggap sebagai hewan yang menanggung beban. Manusia semacam ini menerima dan patuh saja pada apapun yang diberikan padanya.

Sementara tahapan berikutnya adalah singa. Singa kerap memberontak, menginginkan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya. Manusia semacam ini kerap dinamis dan menginginkan perubahan.

Namun metamorfosa final bukanlah menjadi singa, kata Nietzsche, melainkan menjadi anak. Mengapa anak? Mereka sangat imajinatif memandang dunia, dan hanya pikiran sendirinya saja yang menjadi tuan. Anak adalah sosok yang tidak bersalah, sebuah permulaan baru, sebuah permainan, semacam roda yang berputar sendiri, sebuah sikap yang terus mengafirmasi hidup.    

Kedua, adalah tentang mentalitas tuan. Mari membaca pernyataannya berikut ini, yang dimuat dalam Genealogi Moral: Manusia adalah hewan yang paling berani, mereka terbiasa dan tidak pernah menolak penderitaan. Bahkan lebih daripada itu, manusia menginginkannya, bahkan mencari penderitaan itu, meski tidak bermakna apa-apa sama sekali.

Mentalitas tuan semacam itu adalah moralitas yang ditawarkan Nietzsche sebagai kritiknya atas mentalitas budak (slave morality) yang terlalu dipenuhi kebaikan, simpati, dan empati. Nietzsche mengibaratkan mentalitas tuan itu ada pada para pahlawan yang terdapat dalam Mitologi Yunani, sementara mentalitas budak ada pada tradisi Kekristenan.  

Baca juga: Jadwal Siaran Langsung dan Link Live Streaming AFC CUP 2022: Bali United vs Visakha FC Sore Ini

Ketiga, Nietzsche menyerukan dalam Demikian Sabda Zarathustra tentang kematian Tuhan. Perkara kematian Tuhan ini menjadi semacam cara bagi Nietzsche untuk meyakinkan manusia tentang keberdikarian dirinya.

Namun “Tuhan” yang dimaksud Nietzsche, dapat ditafsirkan sebagai tidak melulu Tuhan yang ada dalam agama-agama, melainkan juga berbagai bentuk dogma dan berhala, seperti sains dan bahkan filsafat itu sendiri. “Kematian Tuhan” tidak bisa disempitkan sebagai pernyataan ateistik (seperti umumnya ditasirkan) melainkan lebih daripada itu, sebuah ajakan untuk menyingkirkan berbagai dogma dan berhala.  

Keempat, dalam bukunya yang berjudul Lahirnya Tragedi ia membandingkan dua cara dalam menjalani hidup, yaitu cara Apollonian atau Dyonisian. Apollonian berarti bertindak seperti Dewa Apollo, mengandalkan rasionalitas dan pencerahan.

Sementara Dyonisian berasal dari Dewa Dyonisus yang bertanggung jawab pada anggur dan pesta perayaan. Hiduplah dengan gaya Dyonisian, kata Nietzsche, agar hidup terasa gelegaknya. Manusia super adalah manusia yang hidup dengan gairah dan "mabuk"nya, bukan pada akal pikirannya yang seringkali kurang luwes dan malah membosankan. 

Baca Juga: Bupati Ciamis Terima Penghargaan dari PWI, Ketua PWI Ciamis: Hubungan Dengan Pemda Sangat Baik

Tentu saja ada sejumlah kritik terhadap konsepsinya terkait manusia super ini. Misalnya, Nietzsche sendiri sebelas tahun terakhir dalam hidupnya, mengalami kegilaan secara harfiah. Artinya, dapat diasumsikan ia gagal menjadi manusia super sebagaimana yang ia telah pikirkan (walau mungkin bisa jadi, kegilaan adalah bentuk paripurna?).

Kemudian, Nietzsche juga ditafsirkan terlampau arogan – yang oleh Franz Magnis Suseno dalam bukunya, Menalar Tuhan, disebut terlalu meremehkan iman. Tafsir tentang arogansi ini, di satu sisi, memang ada benarnya, misalnya jika kita menyimak tulisannya dalam bukunya, Ecce Homo/ Lihatlah Dia berikut ini: 

Aku telah, dengan menuliskan buku ini, memberi umat manusia hadiah terbesar yang pernah diberikan kepadanya. Dengan sebuah suara yang berbicara melintasi milenia, ia bukan hanya buku teragung yang ada, buku aktual tentang udara ketinggian - keseluruhan fakta yang ditaruh manusia dalam jarak yang luar biasa di baliknya- ia juga merupakan buku yang paling dalam, lahir dari kumpulan kebenaran yang paling dalam, sebuah sumur yang tak pernah kering, dari dalamnya tidak ada timba yang ditarik ke atas tanpa dipenuhi emas dan kebaikan.” 

Namun jangan-jangan, arogan atau tidak, itu bukan soal utamanya. Karena pada akhirnya, setelah mempelajari pemikirannya, kita harus berusaha juga melampauinya.***

Sumber Referensi

Kelas Isolasi/by: Syarif Maulana

Levine, Peter. (2012). Nietzsche, Potret Besar Sang Filsuf . Yogyakarta: IRCiSoD.

Nietzche, Friedrich. (1995). Ecce Homo/ Lihatlah Dia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nietzsche, Friedrich. (2001). Genealogi Moral. Yogyakarta: Jalasutra.

Nietzsche, Friedrich. (2010). Sabda Zarathustra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nietzsche, Friedrich. (2015). Lahirnya Tragedi. Yogyakarta: Narasi.

Editor: Aan Diana

Sumber: Kelas Isolasi


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah